Pengertian Khitbah Syarat dan Tata Cara Peminangan Dalam Islam
Pengertian Khitbah Syarat dan Tata Cara Peminangan Dalam Islam
Mengkhitbah seseorang perempuan ialah jalur pembuka menuju mahramnya dengan cara perkawinan. Bisa jadi khitbah merupakan jenjang untuk seorang mengarah halal kala seorang halal dengan seseorang perempuan ataupun kebalikanya. Pastinya dalam mengkhitbah seorang wajib didampini oleh kedua belahpihak keluarga.
Tetapi dalam cara pelaksanaanya wajib memperhatikan syarat- syarat yang sesuai dengan syaria’ t Islam
1. Niatkan untuk menemukan Ridho Allah Swt
2. Terdapatnya peminang( pria) serta yang di pinang( wanita)
3. Telah Melakukan Ta’ aruf sebelumnya
4. Nggak terdapat desakan diantara kedua belah pihak“ Ikhlas Lillahitaala”
5. Nggak Bisa mengkhitbah saudara sepersusuan
6. Telah terdapat cara perjanjian serta nggak ada yang di rahasiakan pada saat proses ta’ aruf.
7. Melamar seharusnya bersama orang tua ataupun orangtua
8. Mencermati adab- adab dalam jalinan sesama manusia
Khitbah( Peminangan)
Oleh
Al- Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Islam sudah membagikan rancangan yang nyata mengenai aturan sistem pernikahan berdasarkan Al- Qur’ an serta As- Sunnah yang shahih setimpal dengan uraian para Salafush Shalih, di antara lain merupakan:
Seseorang pria mukmin yang hendak menikahi seseorang muslimah, harusnya beliau meminang terlebih dulu sebab dimungkinkan beliau lagi dipinang oleh orang lain. Dalam perihal ini Islam mencegah seseorang pria mukmin meminang perempuan yang lagi dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa sallam berfirman:
نَهَىالنَّبِيُّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَأَنْيَبِيْعَبَعْضُكُمْعَلَىبَيْعِبَعْضٍ،وَلاَيَخْطُبَالرَّجُلُعَلَىخِطْبَةِأَخِيْهِ،حَتَّىيَتْرُكَالْخَاطِبُقَبْلَهُأَوْيَأْذَنَلَهُالْخَاطِبُ.
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.” [1]
Disunnahkan memandang wajah perempuan yang hendak dipinang serta bisa memandang apa- apa yang bisa mendorongnya buat menikahi perempuan itu.
Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa sallam berfirman:
إِذَاخَطَبَأَحَدُكُمُالْمَرْأَةَ،فَإِنِاسْتَطَاعَأَنْيَنْظُرَمِنْهَاإِلَىمَايَدْعُوْهُإِلَىنِكَاحِهَا،فَلْيَفْعَلْ
“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” [2]
Al- Mughirah bin Syu’ bah radhiyallaahu‘ anhu sempat meminang seseorang perempuan, hingga Rasul shallallaahu‘ alaihi wa sallam mengatakan kepadanya:
أُنْظُرْإِلَيْهَا،فَإِنَّهُأَحْرَىأَنْيُؤْدَمَبَيْنَكُمَا
“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” [3]
Pemimpin at- Tirmidzi rahimahullaah mengatakan,“ Beberapa pakar ilmu beranggapan dengan hadits ini kalau bagi mereka nggak mengapa memandang perempuan yang dipinang ketika tidak memandang apa yang diharamkan darinya.”
Mengenai memandang perempuan yang dipinang, sudah terjalin ikhtilaf di kalangan para malim, ikhtilafnya berhubungan mengenai komponen mana aja yang bisa diamati. Ada yang beranggapan bisa memandang tidak hanya wajah serta kedua telapak tangan, ialah memandang rambut, betis serta yang lain, bersumber pada sabda Rasul shallallaahu‘ alaihi wa sallam,“ Memandang apa yang mendorongnya buat menikahinya.” Akan tetapi yang disetujui oleh para malim merupakan memandang wajah serta kedua tangannya. Wallaahu a’ lam.[4]
Bila seseorang pria yang shalih direkomendasikan untuk mencari perempuan muslimah sempurna- sebagaimana yang sudah kita sebutkan- hingga begitu juga dengan orang tua kalangan perempuan. Orang tua perempuan juga bertanggung jawab mencari pria shalih yang hendak dinikahkan dengan buah hatinya. Dari Abu Hatim al- Muzani radhiyallaahu‘ anhu, beliau mengatakan,“ Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa sallam berfirman,
إِذَاجَاءَكُمْمَنْتَرْضَوْنَدِيْنَهُوَخُلُقَهُفَانْكِحُوْهُ،إِلاَّتَفْعَلُوْاتَكُنْفِتْنَةٌفِياْلأَرْضِوَفَسَادٌكَبِيْرٌ.
“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.’” [5]
dapat pula seseorang orang tua menawarkan puteri ataupun kerabat perempuannya pada banyak orang yang shalih.
Begitu juga diriwayatkan dari Ibnu‘ Umar, beliau mengatakan,“ Sebenarnya ketika Hafshah binti‘ Umar ditinggal mati oleh suaminya yang berjulukan Khunais bin Hudzafah as- Sahmi, beliau merupakan salah seseorang Shahabat Rasul yang tewas di Madinah.‘ Umar bin al- Khaththab mengatakan,‘ Saya menghadiri‘ Utsman bin‘ Affan untuk menawarkan Hafshah, hingga beliau mengatakan,‘ Akan saya pikirkan dulu.’ Setelah beberapa hari setelah itu‘ Utsman mendatangiku serta mengatakan,‘ Saya sudah menyudahi untuk nggak menikah dikala ini.’’‘ Umar meneruskan,‘ Setelah itu saya menemui Abu Bakar ash- Shiddiq serta mengatakan,‘ Bila anda ingin, saya akan nikahkan Hafshah binti‘ Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar bungkam serta nggak berpendapat apa pun. Dikala itu saya lebih kecewa kepada Abu Bakar dari pada‘ Utsman.
Hingga berlalulah beberapa hari sampai Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa sallam meminangnya. Hingga, saya nikahkan puteriku dengan Rasulullah. Setelah itu Abu Bakar menemuiku serta mengatakan,‘ Apakah anda marah kepadaku ketika anda menawarkan Hafshah, akan tetapi saya nggak berpendapat apa pun?’‘ Umar men- jawab,‘ Betul.’ Abu Bakar mengatakan,‘ Sebetulnya tidak ada suatu yang menghalangiku buat menyambut tawaranmu, melainkan saya mengenali kalau Rasulullah sudah menyebut- nyebutnya( Hafshah). Saya nggak mau menyebarkan rahasia Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa sallam. Bila dia meninggalkannya, tentu saya akan menyambut tawaranmu.’”[6]
Bila seseorang pria sudah nazhar( memandang) perempuan yang dipinang dan perempuan juga telah memandang pria yang meminangnya serta niat sudah bulat buat menikah, hingga harusnya tiap- tiap dari keduanya buat melaksanakan shalat istikharah serta berdo’ a seusai shalat. Yakni berharap pada Allah supaya memberi taufiq serta kecocokan, dan berharap kepada- Nya supaya dikasih pilihan yang bagus menurutnya.[7] Perihal ini bersumber pada hadits dari Jabir bin‘ Abdillah radhiyallaahu‘ anhu, beliau mengatakan,“ Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa sallam mengajari kita shalat Istikharah untuk memutuskan segala suatu begitu juga mengajari surat Al- Qur’ an.” Beliau shallallaahu‘ alaihi wa sallam berfirman,“ Bila seorang di antara kamu memiliki konsep untuk melakukan suatu, seharusnya melakukan shalat sunnah( Istikharah) 2 raka’ at, setelah itu membaca do’ a:
اَللَّهُمَّإِنِّيأَسْتَخِيْرُكَبِعِلْمِكَوَأَسْتَقْدِرُكَبِقُدْرَتِكَوَأَسْأَلُكَمِنْفَضْلِكَالْعَظِيْمِفَإِنَّكَتَقْدِرُوَلاَأَقْدِرُوَتَعْلَمُوَلاَأَعْلَمُوَأَنْتَعَلاَّمُالْغُيُوْبِ.اَللَّهُمَّإِنْكُنْتَتَعْلَمُأَنَّهَذَااْلأَمْرَ(وَيُسَمِّىحَاجَتَهُ)خَيْرٌلِيْفِيْدِيْنِيْوَمَعَاشِيْوَعَاقِبَةِأَمْرِيْ(أَوْقَالَ:عَاجِلِهِوَآجِلِهِ)فَاقْدُرْهُلِيْوَيَسِّرْهُلِيْثُمَّبَارِكْلِيْفِيْهِ،وَإِنْكُنْتَتَعْلَمُأَنَّهَذَااْلأَمْرَشَرٌّلِيْفِيْدِيْنِيْوَمَعَاشِيْوَعَاقِبَةِأَمْرِيْ(أَوْقَالَ:فِيْعَاجِلِهِوَآجِلِهِ)فَاصْرِفْهُعَنِّيوَاصْرِفْنِيْعَنْهُوَاقْدُرْلِيَالْخَيْرَحَيْثُكَانَثُمَّأَرْضِنِيْبِهِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘..di dunia atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya kepada diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘…di dunia atau akhirat’) maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan (tetapkan)lah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.’” [8]
Dari Anas bin Raja radhiyallaahu‘ anhu, beliau mengatakan,“ Ketika era‘ iddah Zainab binti Jahsy telah berakhir, Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa sallam mengatakan pada Zaid,‘ Sampaikanlah kepadanya kalau saya hendak meminangnya.’ Zaid mengatakan,‘ Kemudian saya berangkat menghadiri Zainab kemudian saya mengatakan,‘ Aduhai Zainab, bergembiralah sebab Rasulullah mengutusku kalau dia hendak meminangmu.’’ Zainab mengatakan,‘ Saya nggak akan melaksanakan suatu sampai saya meminta pilihan yang bagus pada Allah.’ Kemudian Zainab berangkat ke masjidnya.[9] Kemudian turunlah ayat Al- Qur’ an[10] serta Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa sallam tiba dan langsung masuk menemuinya.”[11]
Imam an- Nasa’ i rahimahullaah membagikan ayat kepada hadits ini dengan judul Shalaatul Marhidza Khuthibat wastikhaaratuha Rabbaha( Seseorang Wanita Shalat Istikharah kala Dipinang).”
Fawaaid( Faedah- Faedah) Yang Berhubungan Dengan Istikharah:
1. Shalat Istikharah ketetapannya sunnah.
2. Do’ a Istikharah bisa dicoba sehabis shalat Tahiyyatul Masjid, shalat sunnah Rawatib, shalat Dhuha, ataupun shalat malam.
3. Shalat Istikharah dilakukan untuk memohon ditetapkannya pilihan pada calon yang bagus, tidak untuk mengambil keputusan jadi ataupun tidaknya menikah. Sebab, asal dari pernikahan merupakan dianjurkan.
4. Seharusnya ikhlas serta ittiba’ dalam berdo’ a Istikharah.
5. Nggak ada hadits yang shahih jika sudah shalat Istikharah bakal ada mimpi, serta yang lain.[12]
[Disalin dari novel Alang Eksklusif Mengarah Keluarga Keamanan, Pengarang Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pencetak Pustaka At- Taqwa Bogor– Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’ dah 1427H atau Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/334, 360), Abu Dawud (no. 2082) dan al-Hakim (II/165), dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1087), an-Nasa-i (VI/69-70), ad-Darimi (II/134) dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1511).
[4]. Lihat pembahasan masalah ini dalam Syarhus Sunnah (IX/17) oleh Imam al-Baghawi, Syarh Muslim (IX/210) oleh Imam an-Nawawi, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (I/97-208, no. 95-98) oleh Syaikh al-Albani, al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah (V/34-36) oleh Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah dan Fiqhun Nazhar (hal. 82-89).
[5]. Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1085). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1022).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5122) dan an-Nasa-i (VI/77-78). Lihat Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3047).
[7]. Al-Insyiraah fii Aadabin Nikaah (hal. 22-23) oleh Syaikh Abu Ishaq al-Khuwaini, Jaami’ Ahkaamin Nisaa'(III/216) oleh Musthafa al-‘Adawi dan Adabul Khithbah waz Zifaaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 21-22) oleh ‘Amr ‘Abdul Mun’im Salim.
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1162), Abu Dawud (no. 1538), at-Tirmidzi (no. 480), an-Nasa-i (VI/80), Ibnu Majah (no. 1383), Ahmad (III/334), al-Baihaqi (III/52) dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
[9]. Yaitu mushalla tempat shalat di rumahnya.
[10]. Yaitu surat al-Ahzaab ayat 37. Allah telah menikahkan Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab binti Jahsyi melalui ayat ini.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1428 (89)), an-Nasa-i (VI/79), dari Shahabat Anas radhiyallaahu ‘anhu.
[12]. Jaami’ Ahkaamin Nisaa’ (III/218-222)
Khitbah Adalah?
Penafsiran khitbah secara simpel merupakan melamar, mengkhitbah disefinisikan sebagai aktivitas meminang seorang untuk tujuan perkawinan.Mengkhitbah seseorang perempuan ialah jalur pembuka menuju mahramnya dengan cara perkawinan. Bisa jadi khitbah merupakan jenjang untuk seorang mengarah halal kala seorang halal dengan seseorang perempuan ataupun kebalikanya. Pastinya dalam mengkhitbah seorang wajib didampini oleh kedua belahpihak keluarga.
Tetapi dalam cara pelaksanaanya wajib memperhatikan syarat- syarat yang sesuai dengan syaria’ t Islam
Syarat Khitbah
Selanjutnya bebarapa ketentuan yang wajib dicermati kala kalian hendak menghitbah seseorang pujaan hati1. Niatkan untuk menemukan Ridho Allah Swt
2. Terdapatnya peminang( pria) serta yang di pinang( wanita)
3. Telah Melakukan Ta’ aruf sebelumnya
4. Nggak terdapat desakan diantara kedua belah pihak“ Ikhlas Lillahitaala”
5. Nggak Bisa mengkhitbah saudara sepersusuan
6. Telah terdapat cara perjanjian serta nggak ada yang di rahasiakan pada saat proses ta’ aruf.
7. Melamar seharusnya bersama orang tua ataupun orangtua
8. Mencermati adab- adab dalam jalinan sesama manusia
Khitbah( Peminangan)
Aturan Sistem / TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Oleh
Al- Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Islam sudah membagikan rancangan yang nyata mengenai aturan sistem pernikahan berdasarkan Al- Qur’ an serta As- Sunnah yang shahih setimpal dengan uraian para Salafush Shalih, di antara lain merupakan:
Khitbah( Peminangan)
Seseorang pria mukmin yang hendak menikahi seseorang muslimah, harusnya beliau meminang terlebih dulu sebab dimungkinkan beliau lagi dipinang oleh orang lain. Dalam perihal ini Islam mencegah seseorang pria mukmin meminang perempuan yang lagi dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa sallam berfirman:
نَهَىالنَّبِيُّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَأَنْيَبِيْعَبَعْضُكُمْعَلَىبَيْعِبَعْضٍ،وَلاَيَخْطُبَالرَّجُلُعَلَىخِطْبَةِأَخِيْهِ،حَتَّىيَتْرُكَالْخَاطِبُقَبْلَهُأَوْيَأْذَنَلَهُالْخَاطِبُ.
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.” [1]
Disunnahkan memandang wajah perempuan yang hendak dipinang serta bisa memandang apa- apa yang bisa mendorongnya buat menikahi perempuan itu.
Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa sallam berfirman:
إِذَاخَطَبَأَحَدُكُمُالْمَرْأَةَ،فَإِنِاسْتَطَاعَأَنْيَنْظُرَمِنْهَاإِلَىمَايَدْعُوْهُإِلَىنِكَاحِهَا،فَلْيَفْعَلْ
“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” [2]
Al- Mughirah bin Syu’ bah radhiyallaahu‘ anhu sempat meminang seseorang perempuan, hingga Rasul shallallaahu‘ alaihi wa sallam mengatakan kepadanya:
أُنْظُرْإِلَيْهَا،فَإِنَّهُأَحْرَىأَنْيُؤْدَمَبَيْنَكُمَا
“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” [3]
Pemimpin at- Tirmidzi rahimahullaah mengatakan,“ Beberapa pakar ilmu beranggapan dengan hadits ini kalau bagi mereka nggak mengapa memandang perempuan yang dipinang ketika tidak memandang apa yang diharamkan darinya.”
Mengenai memandang perempuan yang dipinang, sudah terjalin ikhtilaf di kalangan para malim, ikhtilafnya berhubungan mengenai komponen mana aja yang bisa diamati. Ada yang beranggapan bisa memandang tidak hanya wajah serta kedua telapak tangan, ialah memandang rambut, betis serta yang lain, bersumber pada sabda Rasul shallallaahu‘ alaihi wa sallam,“ Memandang apa yang mendorongnya buat menikahinya.” Akan tetapi yang disetujui oleh para malim merupakan memandang wajah serta kedua tangannya. Wallaahu a’ lam.[4]
Kala Pria Shalih Tiba Untuk Meminang (BerKhitbah)
Bila seseorang pria yang shalih direkomendasikan untuk mencari perempuan muslimah sempurna- sebagaimana yang sudah kita sebutkan- hingga begitu juga dengan orang tua kalangan perempuan. Orang tua perempuan juga bertanggung jawab mencari pria shalih yang hendak dinikahkan dengan buah hatinya. Dari Abu Hatim al- Muzani radhiyallaahu‘ anhu, beliau mengatakan,“ Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa sallam berfirman,
إِذَاجَاءَكُمْمَنْتَرْضَوْنَدِيْنَهُوَخُلُقَهُفَانْكِحُوْهُ،إِلاَّتَفْعَلُوْاتَكُنْفِتْنَةٌفِياْلأَرْضِوَفَسَادٌكَبِيْرٌ.
“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.’” [5]
dapat pula seseorang orang tua menawarkan puteri ataupun kerabat perempuannya pada banyak orang yang shalih.
Begitu juga diriwayatkan dari Ibnu‘ Umar, beliau mengatakan,“ Sebenarnya ketika Hafshah binti‘ Umar ditinggal mati oleh suaminya yang berjulukan Khunais bin Hudzafah as- Sahmi, beliau merupakan salah seseorang Shahabat Rasul yang tewas di Madinah.‘ Umar bin al- Khaththab mengatakan,‘ Saya menghadiri‘ Utsman bin‘ Affan untuk menawarkan Hafshah, hingga beliau mengatakan,‘ Akan saya pikirkan dulu.’ Setelah beberapa hari setelah itu‘ Utsman mendatangiku serta mengatakan,‘ Saya sudah menyudahi untuk nggak menikah dikala ini.’’‘ Umar meneruskan,‘ Setelah itu saya menemui Abu Bakar ash- Shiddiq serta mengatakan,‘ Bila anda ingin, saya akan nikahkan Hafshah binti‘ Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar bungkam serta nggak berpendapat apa pun. Dikala itu saya lebih kecewa kepada Abu Bakar dari pada‘ Utsman.
Hingga berlalulah beberapa hari sampai Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa sallam meminangnya. Hingga, saya nikahkan puteriku dengan Rasulullah. Setelah itu Abu Bakar menemuiku serta mengatakan,‘ Apakah anda marah kepadaku ketika anda menawarkan Hafshah, akan tetapi saya nggak berpendapat apa pun?’‘ Umar men- jawab,‘ Betul.’ Abu Bakar mengatakan,‘ Sebetulnya tidak ada suatu yang menghalangiku buat menyambut tawaranmu, melainkan saya mengenali kalau Rasulullah sudah menyebut- nyebutnya( Hafshah). Saya nggak mau menyebarkan rahasia Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa sallam. Bila dia meninggalkannya, tentu saya akan menyambut tawaranmu.’”[6]
Shalat Istikharah
Bila seseorang pria sudah nazhar( memandang) perempuan yang dipinang dan perempuan juga telah memandang pria yang meminangnya serta niat sudah bulat buat menikah, hingga harusnya tiap- tiap dari keduanya buat melaksanakan shalat istikharah serta berdo’ a seusai shalat. Yakni berharap pada Allah supaya memberi taufiq serta kecocokan, dan berharap kepada- Nya supaya dikasih pilihan yang bagus menurutnya.[7] Perihal ini bersumber pada hadits dari Jabir bin‘ Abdillah radhiyallaahu‘ anhu, beliau mengatakan,“ Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa sallam mengajari kita shalat Istikharah untuk memutuskan segala suatu begitu juga mengajari surat Al- Qur’ an.” Beliau shallallaahu‘ alaihi wa sallam berfirman,“ Bila seorang di antara kamu memiliki konsep untuk melakukan suatu, seharusnya melakukan shalat sunnah( Istikharah) 2 raka’ at, setelah itu membaca do’ a:
اَللَّهُمَّإِنِّيأَسْتَخِيْرُكَبِعِلْمِكَوَأَسْتَقْدِرُكَبِقُدْرَتِكَوَأَسْأَلُكَمِنْفَضْلِكَالْعَظِيْمِفَإِنَّكَتَقْدِرُوَلاَأَقْدِرُوَتَعْلَمُوَلاَأَعْلَمُوَأَنْتَعَلاَّمُالْغُيُوْبِ.اَللَّهُمَّإِنْكُنْتَتَعْلَمُأَنَّهَذَااْلأَمْرَ(وَيُسَمِّىحَاجَتَهُ)خَيْرٌلِيْفِيْدِيْنِيْوَمَعَاشِيْوَعَاقِبَةِأَمْرِيْ(أَوْقَالَ:عَاجِلِهِوَآجِلِهِ)فَاقْدُرْهُلِيْوَيَسِّرْهُلِيْثُمَّبَارِكْلِيْفِيْهِ،وَإِنْكُنْتَتَعْلَمُأَنَّهَذَااْلأَمْرَشَرٌّلِيْفِيْدِيْنِيْوَمَعَاشِيْوَعَاقِبَةِأَمْرِيْ(أَوْقَالَ:فِيْعَاجِلِهِوَآجِلِهِ)فَاصْرِفْهُعَنِّيوَاصْرِفْنِيْعَنْهُوَاقْدُرْلِيَالْخَيْرَحَيْثُكَانَثُمَّأَرْضِنِيْبِهِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘..di dunia atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya kepada diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘…di dunia atau akhirat’) maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan (tetapkan)lah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.’” [8]
Dari Anas bin Raja radhiyallaahu‘ anhu, beliau mengatakan,“ Ketika era‘ iddah Zainab binti Jahsy telah berakhir, Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa sallam mengatakan pada Zaid,‘ Sampaikanlah kepadanya kalau saya hendak meminangnya.’ Zaid mengatakan,‘ Kemudian saya berangkat menghadiri Zainab kemudian saya mengatakan,‘ Aduhai Zainab, bergembiralah sebab Rasulullah mengutusku kalau dia hendak meminangmu.’’ Zainab mengatakan,‘ Saya nggak akan melaksanakan suatu sampai saya meminta pilihan yang bagus pada Allah.’ Kemudian Zainab berangkat ke masjidnya.[9] Kemudian turunlah ayat Al- Qur’ an[10] serta Rasulullah shallallaahu‘ alaihi wa sallam tiba dan langsung masuk menemuinya.”[11]
Imam an- Nasa’ i rahimahullaah membagikan ayat kepada hadits ini dengan judul Shalaatul Marhidza Khuthibat wastikhaaratuha Rabbaha( Seseorang Wanita Shalat Istikharah kala Dipinang).”
Fawaaid( Faedah- Faedah) Yang Berhubungan Dengan Istikharah:
1. Shalat Istikharah ketetapannya sunnah.
2. Do’ a Istikharah bisa dicoba sehabis shalat Tahiyyatul Masjid, shalat sunnah Rawatib, shalat Dhuha, ataupun shalat malam.
3. Shalat Istikharah dilakukan untuk memohon ditetapkannya pilihan pada calon yang bagus, tidak untuk mengambil keputusan jadi ataupun tidaknya menikah. Sebab, asal dari pernikahan merupakan dianjurkan.
4. Seharusnya ikhlas serta ittiba’ dalam berdo’ a Istikharah.
5. Nggak ada hadits yang shahih jika sudah shalat Istikharah bakal ada mimpi, serta yang lain.[12]
[Disalin dari novel Alang Eksklusif Mengarah Keluarga Keamanan, Pengarang Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pencetak Pustaka At- Taqwa Bogor– Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’ dah 1427H atau Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/334, 360), Abu Dawud (no. 2082) dan al-Hakim (II/165), dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1087), an-Nasa-i (VI/69-70), ad-Darimi (II/134) dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1511).
[4]. Lihat pembahasan masalah ini dalam Syarhus Sunnah (IX/17) oleh Imam al-Baghawi, Syarh Muslim (IX/210) oleh Imam an-Nawawi, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (I/97-208, no. 95-98) oleh Syaikh al-Albani, al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah (V/34-36) oleh Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah dan Fiqhun Nazhar (hal. 82-89).
[5]. Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1085). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1022).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5122) dan an-Nasa-i (VI/77-78). Lihat Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3047).
[7]. Al-Insyiraah fii Aadabin Nikaah (hal. 22-23) oleh Syaikh Abu Ishaq al-Khuwaini, Jaami’ Ahkaamin Nisaa'(III/216) oleh Musthafa al-‘Adawi dan Adabul Khithbah waz Zifaaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 21-22) oleh ‘Amr ‘Abdul Mun’im Salim.
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1162), Abu Dawud (no. 1538), at-Tirmidzi (no. 480), an-Nasa-i (VI/80), Ibnu Majah (no. 1383), Ahmad (III/334), al-Baihaqi (III/52) dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
[9]. Yaitu mushalla tempat shalat di rumahnya.
[10]. Yaitu surat al-Ahzaab ayat 37. Allah telah menikahkan Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab binti Jahsyi melalui ayat ini.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1428 (89)), an-Nasa-i (VI/79), dari Shahabat Anas radhiyallaahu ‘anhu.
[12]. Jaami’ Ahkaamin Nisaa’ (III/218-222)
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/334, 360), Abu Dawud (no. 2082) dan al-Hakim (II/165), dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1087), an-Nasa-i (VI/69-70), ad-Darimi (II/134) dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1511).
[4]. Lihat pembahasan masalah ini dalam Syarhus Sunnah (IX/17) oleh Imam al-Baghawi, Syarh Muslim (IX/210) oleh Imam an-Nawawi, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (I/97-208, no. 95-98) oleh Syaikh al-Albani, al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah (V/34-36) oleh Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah dan Fiqhun Nazhar (hal. 82-89).
[5]. Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1085). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1022).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5122) dan an-Nasa-i (VI/77-78). Lihat Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3047).
[7]. Al-Insyiraah fii Aadabin Nikaah (hal. 22-23) oleh Syaikh Abu Ishaq al-Khuwaini, Jaami’ Ahkaamin Nisaa'(III/216) oleh Musthafa al-‘Adawi dan Adabul Khithbah waz Zifaaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 21-22) oleh ‘Amr ‘Abdul Mun’im Salim.
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1162), Abu Dawud (no. 1538), at-Tirmidzi (no. 480), an-Nasa-i (VI/80), Ibnu Majah (no. 1383), Ahmad (III/334), al-Baihaqi (III/52) dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
[9]. Yaitu mushalla tempat shalat di rumahnya.
[10]. Yaitu surat al-Ahzaab ayat 37. Allah telah menikahkan Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab binti Jahsyi melalui ayat ini.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1428 (89)), an-Nasa-i (VI/79), dari Shahabat Anas radhiyallaahu ‘anhu.
[12]. Jaami’ Ahkaamin Nisaa’ (III/218-222).
Read more https://almanhaj.or.id/3231-khitbah-peminangan.html
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/334, 360), Abu Dawud (no. 2082) dan al-Hakim (II/165), dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1087), an-Nasa-i (VI/69-70), ad-Darimi (II/134) dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1511).
[4]. Lihat pembahasan masalah ini dalam Syarhus Sunnah (IX/17) oleh Imam al-Baghawi, Syarh Muslim (IX/210) oleh Imam an-Nawawi, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (I/97-208, no. 95-98) oleh Syaikh al-Albani, al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah (V/34-36) oleh Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah dan Fiqhun Nazhar (hal. 82-89).
[5]. Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1085). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1022).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5122) dan an-Nasa-i (VI/77-78). Lihat Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3047).
[7]. Al-Insyiraah fii Aadabin Nikaah (hal. 22-23) oleh Syaikh Abu Ishaq al-Khuwaini, Jaami’ Ahkaamin Nisaa'(III/216) oleh Musthafa al-‘Adawi dan Adabul Khithbah waz Zifaaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 21-22) oleh ‘Amr ‘Abdul Mun’im Salim.
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1162), Abu Dawud (no. 1538), at-Tirmidzi (no. 480), an-Nasa-i (VI/80), Ibnu Majah (no. 1383), Ahmad (III/334), al-Baihaqi (III/52) dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
[9]. Yaitu mushalla tempat shalat di rumahnya.
[10]. Yaitu surat al-Ahzaab ayat 37. Allah telah menikahkan Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab binti Jahsyi melalui ayat ini.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1428 (89)), an-Nasa-i (VI/79), dari Shahabat Anas radhiyallaahu ‘anhu.
[12]. Jaami’ Ahkaamin Nisaa’ (III/218-222).
Read more https://almanhaj.or.id/3231-khitbah-peminangan.html
Komentar
Posting Komentar